SWIEKE selama ini telah menjadi ikon kuliner Kabupaten Grobogan. Tak sulit mencari warung makan pinggir jalan sampai restoran yang cukup bergengsi yang menjual makanan itu. Jika mengatakan swieke, pasti akan dihubungkan dengan Kabupaten Grobogan.
Sejak saya kecil, tiap malam di musim penghujan, saya sering menjumpai pencari katak (kodok) menyusuri sawah-sawah di kampung. Namun waktu itu pamor swieke belum setenar sekarang. Saat itu masih sedikit warung yang terang-terangan menjual makanan berkuah tauco itu.
Makanan hasil olahan katak memang terkenal lezat. Bahkan media Ibu Kota pernah meliput swieke dari Purwodadi beberapa waktu lalu. Juga kiprah swieke Purwodadi yang telah berekspansi keluar Grobogan.
Sebetulnya bukan hanya swieke saja yang menjadi olahan utama katak sawah. Penulis bersama kawan, pernah makan di warung nasi kucing di dekat Pasar Gubug, di situ menjual pepes katak.
Terlihat enak. Tapi sayang penulis tak mencicipi. Katak goreng juga menjadi olahan yang cukup lezat.
Suara Merdeka (1/12/09) dalam halaman Demak-Grobogan, melaporkan tentang bisnis katak di Grobogan. Setiap hari daerah itu menghasilkan 6-10 kuintal katak mentah yang siap disalurkan ke warung-warung.
Kata Sumi, seorang pengepul, rata-rata seorang penjual katak menyetorkan 3-5 kg katak mentah kepadanya pelanggannya.
Pada awal musim penghujan katak sawah memang melimpah. Ini telah menggerakkan kreativitas masyarakat untuk mencari penghasilan tambahan.
Saat musim hujan, harga katak bisa Rp 25 ribu- Rp29 ribu per kg, dan saat musim kemarau bisa Rp 32 ribu tapi barangnya sulit didapat. Rata-rata pencari katak mendapat untung Rp 50 ribu-Rp 70 ribu per malam..
Keberadaan swieke yang telah menjadi makanan khas Grobogan akan menemukan hambatan teologis jika benar-benar ingin diikonkan. Meski bukan dikenal sebagai kota santri masyarakat Grobogan relijius dan konsisten menjalani ajaran agamanya.
Literatur fikih menyebut katak sebagai hewan yang haram karena hidup di dua tempat (darat dan air). Meski Alquran tidak menyebut secara eksplisit keharaman katak, tapi ulama-ulama sepakat bahwa katak adalah haram.
Dilematis Inilah yang menjadi sebab katak (swieke) mengalami keadaan yang dilematis. Di satu sisi sebagai makanan yang lezat dan digemari masyarakat, bahkan di luar Grobogan. Sisi yang lain menjadi makanan haram secara teologis.
Di Grobogan tak ada tempat seperti Pasar di Tomohon, Sulawesi Utara yang menjual berbagai makanan ekstrem seperti daging anjing, kelelawar, tikus, kucing, babi dan lain-lain. Warung-warung swieke bisa berdiri mesra dengan warung-warung lainnya.
Lantas mungkinkah makanan yang tak mendapat legalitas fikih sebagai makanan halal itu layak jual ke masyarakat? Kenyataannya warung swieke selalu ramai pembeli. Artinya, makanan ini terbukti digemari masyarakat.
Potensi alam yang melimpah dengan katak sawah di Grobogan bisa dioptimalkan menjadi sumber pendapatan daerah.
Sayangnya kebutuhan katak masih bergantung dengan alam, yakni hanya pada musim penghujan. Belum dicoba ternak katak agar kebutuhan katak bisa dipasok tanpa bergantung pada musim.
Ada dua cara yang coba penulis tawarkan untuk menyiasati agar swieke tetap bertahan. Pertama, mengatasi hambatan teologis.
Bukan dengan cara mencari ëilat (alasan) agar katak yang asalnya haram menjadi halal melainkan dengan menjual katak di tempat-tempat yang dihuni oleh komunitas-komunitas masyarakat yang kebetulan tidak mengharamkan binatang ini.
Kedua, menyiasati dengan mengganti daging swieke bukan lagi dengan katak melainkan dengan yang lain, misalnya ayam, kelinci, itik, bebek, sapi, atau kambing.
Dengan demikian cita rasa swieke akan masih tetap terjaga, namun tetap menghormati orang-orang yang tak ingin makan katak karena alasan teologis.
Ini berhasil dicoba oleh rica-rica yang dulu dihubungkan dengan (maaf) anjing, tapi kini telah dikenal rica-rica lain yang menggunakan daging yang halal.
Swieke adalah bumbu, bukan kataknya. Artinya yang membuat makanan itu enak karena bumbu swiekenya, yaitu taucom bukan karena kataknya.
Sejak saya kecil, tiap malam di musim penghujan, saya sering menjumpai pencari katak (kodok) menyusuri sawah-sawah di kampung. Namun waktu itu pamor swieke belum setenar sekarang. Saat itu masih sedikit warung yang terang-terangan menjual makanan berkuah tauco itu.
Makanan hasil olahan katak memang terkenal lezat. Bahkan media Ibu Kota pernah meliput swieke dari Purwodadi beberapa waktu lalu. Juga kiprah swieke Purwodadi yang telah berekspansi keluar Grobogan.
Sebetulnya bukan hanya swieke saja yang menjadi olahan utama katak sawah. Penulis bersama kawan, pernah makan di warung nasi kucing di dekat Pasar Gubug, di situ menjual pepes katak.
Terlihat enak. Tapi sayang penulis tak mencicipi. Katak goreng juga menjadi olahan yang cukup lezat.
Suara Merdeka (1/12/09) dalam halaman Demak-Grobogan, melaporkan tentang bisnis katak di Grobogan. Setiap hari daerah itu menghasilkan 6-10 kuintal katak mentah yang siap disalurkan ke warung-warung.
Kata Sumi, seorang pengepul, rata-rata seorang penjual katak menyetorkan 3-5 kg katak mentah kepadanya pelanggannya.
Pada awal musim penghujan katak sawah memang melimpah. Ini telah menggerakkan kreativitas masyarakat untuk mencari penghasilan tambahan.
Saat musim hujan, harga katak bisa Rp 25 ribu- Rp29 ribu per kg, dan saat musim kemarau bisa Rp 32 ribu tapi barangnya sulit didapat. Rata-rata pencari katak mendapat untung Rp 50 ribu-Rp 70 ribu per malam..
Keberadaan swieke yang telah menjadi makanan khas Grobogan akan menemukan hambatan teologis jika benar-benar ingin diikonkan. Meski bukan dikenal sebagai kota santri masyarakat Grobogan relijius dan konsisten menjalani ajaran agamanya.
Literatur fikih menyebut katak sebagai hewan yang haram karena hidup di dua tempat (darat dan air). Meski Alquran tidak menyebut secara eksplisit keharaman katak, tapi ulama-ulama sepakat bahwa katak adalah haram.
Dilematis Inilah yang menjadi sebab katak (swieke) mengalami keadaan yang dilematis. Di satu sisi sebagai makanan yang lezat dan digemari masyarakat, bahkan di luar Grobogan. Sisi yang lain menjadi makanan haram secara teologis.
Di Grobogan tak ada tempat seperti Pasar di Tomohon, Sulawesi Utara yang menjual berbagai makanan ekstrem seperti daging anjing, kelelawar, tikus, kucing, babi dan lain-lain. Warung-warung swieke bisa berdiri mesra dengan warung-warung lainnya.
Lantas mungkinkah makanan yang tak mendapat legalitas fikih sebagai makanan halal itu layak jual ke masyarakat? Kenyataannya warung swieke selalu ramai pembeli. Artinya, makanan ini terbukti digemari masyarakat.
Potensi alam yang melimpah dengan katak sawah di Grobogan bisa dioptimalkan menjadi sumber pendapatan daerah.
Sayangnya kebutuhan katak masih bergantung dengan alam, yakni hanya pada musim penghujan. Belum dicoba ternak katak agar kebutuhan katak bisa dipasok tanpa bergantung pada musim.
Ada dua cara yang coba penulis tawarkan untuk menyiasati agar swieke tetap bertahan. Pertama, mengatasi hambatan teologis.
Bukan dengan cara mencari ëilat (alasan) agar katak yang asalnya haram menjadi halal melainkan dengan menjual katak di tempat-tempat yang dihuni oleh komunitas-komunitas masyarakat yang kebetulan tidak mengharamkan binatang ini.
Kedua, menyiasati dengan mengganti daging swieke bukan lagi dengan katak melainkan dengan yang lain, misalnya ayam, kelinci, itik, bebek, sapi, atau kambing.
Dengan demikian cita rasa swieke akan masih tetap terjaga, namun tetap menghormati orang-orang yang tak ingin makan katak karena alasan teologis.
Ini berhasil dicoba oleh rica-rica yang dulu dihubungkan dengan (maaf) anjing, tapi kini telah dikenal rica-rica lain yang menggunakan daging yang halal.
Swieke adalah bumbu, bukan kataknya. Artinya yang membuat makanan itu enak karena bumbu swiekenya, yaitu taucom bukan karena kataknya.
1 komentar:
Jadi kangen sama Sego Pecel Gambringan yang juga merupakan salah satu Kuliner Khas Purwodadi jadi laper nih, heheh
Posting Komentar